Truk PBS Masih Beroperasi di Jalan Trans Palangka-Kuala Kurun, Abaikan Instruksi Gubernur
Palangka Raya – MKNews, Instruksi Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, yang melarang angkutan Perusahaan Besar Swasta (PBS) melintasi jalan Trans Palangka Raya-Kuala Kurun tampaknya tidak sepenuhnya dipatuhi. Hingga kini, truk-truk pengangkut hasil tambang dan perkebunan masih terlihat melintas, terutama pada malam hari. Rabu (19/2/2025)
Seorang sopir travel yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa angkutan PBS masih aktif beroperasi di jalur tersebut, meskipun telah ada larangan resmi dari pemerintah daerah.
“Mereka tetap melintas pada malam hari, mungkin untuk menghindari pengawasan,” ujarnya.
Kondisi ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk para pemerhati sosial. Salah satu di antaranya, Hartany Soekarno pembina jurnalis menegaskan bahwa perusahaan seharusnya membangun jalan khusus untuk operasional mereka.
“Jalan umum ini dibiayai oleh rakyat melalui pajak, bukan untuk kepentingan perusahaan. Jika mereka menggunakan jalan umum, maka dampaknya ditanggung oleh masyarakat,” katanya.
Aktivitas angkutan berat di jalan umum tidak hanya menimbulkan polusi debu yang mengganggu kesehatan warga sekitar, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas. Kerusakan jalan akibat beban berlebih dari truk-truk PBS juga menjadi masalah serius.
“Kerusakan jalan ini merugikan masyarakat sebagai pengguna utama, sekaligus menjadi beban pemerintah yang harus mengalokasikan anggaran besar untuk perbaikan. Jika dibandingkan, retribusi penggunaan jalan yang dibayarkan oleh perusahaan tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan yang harus ditanggung negara,” tambah pemerhati sosial tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, penggunaan jalan umum yang mengakibatkan gangguan fungsi jalan dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 12 ayat (1) dengan tegas melarang aktivitas yang menyebabkan terganggunya fungsi jalan dalam ruang manfaat jalan. Pelanggar dapat dipidana penjara hingga 18 bulan atau denda maksimal Rp1,5 miliar.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 274 ayat (1) juga menyebutkan larangan serupa. Pelanggar dapat dikenai hukuman penjara hingga satu tahun atau denda maksimal Rp24 juta.
Selain individu, perusahaan yang terbukti melanggar aturan tersebut juga dapat dikenakan sanksi denda tambahan sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 38 Tahun 2004.
Meski aturan telah jelas dan perintah gubernur sudah dikeluarkan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran masih terus terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana pengawasan dan tindakan tegas dari pemerintah daerah serta aparat penegak hukum?
Masyarakat berharap ada langkah konkret dalam menegakkan aturan, baik berupa peningkatan pengawasan di lapangan maupun pemberian sanksi kepada perusahaan yang tidak mematuhi regulasi. Jika tidak, keberadaan aturan dan larangan hanya akan menjadi sekadar formalitas tanpa dampak nyata bagi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
(Tim Redaksi)